SULUH KEABADIAN TURATEA

Karya: Dr. Nursalim Turatea, M.Pd.

 

Mabesnews.com, Ketua Afiliasi Pengajar, Penulis, Bahasa, Sastra, Budaya, Seni, dan Desain (APEBSKID) Provinsi Kepulauan Riau

Di cakrawala yang tak mengenal lelah, aku mencari jejak waktu yang menulis Turatea di nadi sejarah.

Namamu tak sekadar bunyi yang lahir dari lidah manusia,

melainkan getar kesadaran yang turun dari langit purba,

tempat para leluhur menenun cahaya dengan benang kesetiaan.

 

Di rahim Butta Karaeng dan Butta Daeng engkau mula diucap

sebuah mantra yang membuat batu berbicara,

laut berdoa, dan angin menjadi saksi bagi sumpah para perintis.

Dari situ, garuda terbang bukan karena sayap,

melainkan karena keyakinan bahwa kebajikan lebih abadi dari kematian.

 

Turatea, engkau bukan tanah,

tetapi metafora tentang keberanian manusia melawan kefanaan.

Di setiap debur ombakmu tersimpan kisah tentang keteguhan hati,

tentang lelaki yang berlayar tanpa peta,

dan perempuan yang menyalakan pelita di tepi senja sambil berzikir dalam bahasa ibu.

 

Aku mendengar gema itu di antara desir angin Butta Karaeng,

suara yang berkata, “Setiap nama yang lahir dari kejujuran

akan menemukan jalannya menuju keabadian.”

Engkau adalah nama itu, Turatea.

Engkau cahaya yang menolak padam,

meski waktu berulang, meski jarak menjauhkan.

 

Di gunung Bawa Karaeng, aku melihat bayangan masa silam:

kuda-kuda yang menari di bawah langit jingga,

dan tanah yang menyimpan nyanyian Pakanjara dan Papuik-Puik

nyanyian yang tak lekang, karena lahir dari dada orang-orang

yang memanggil masa lalu dengan rasa syukur,

dan menjaga warisan dengan kesunyian yang luhur.

 

Bahasamu, Turatea, bukan sekadar alat ucap,

tetapi jembatan antara dunia lahir dan batin,

antara yang fana dan yang kekal.

Di lidah anak-anakmu, ia menjadi zikir sunyi tentang asal dan tujuan,

tentang manusia yang ingin pulang kepada kejujurannya sendiri.

 

Kini aku berdiri di Batam, kota yang menjadi simpang ziarah zaman,

menatap laut yang sama, angin yang sama,

dan menyebut namamu sekali lagi bukan untuk mengenang,

melainkan untuk menyadarkan diri bahwa cinta kepada tanah asal adalah bentuk paling murni dari kesadaran diri manusia.

Selama laut selatan masih bernyanyi, dan burung-burung masih pulang membawa kabar dari cakrawala,

aku akan tetap menulis namamu di hatiku,

bukan sebagai sejarah, tetapi sebagai filsafat hidup:

bahwa yang lahir dari kesetiaan, tak akan pernah mati.

Turatea engkau bukan masa lalu, engkau adalah suluh keabadian yang menuntun manusia pulang ke jiwanya.