Korupsi BUMN dan Bayang “Negara di Balik Negara”

Opini44 views

Penulis: Sri Radjasa, M. BA (Pemerhati Intelijen)

 

Mabesnews.com,-Pemberantasan korupsi di Indonesia kerap terasa seperti pertarungan simbolik yang ramai di panggung, senyap di belakang layar. Dalam banyak kasus besar, terutama di sektor energi dan BUMN strategis seperti Pertamina, penegakan hukum seakan berhenti pada lapisan permukaan dengan menangkap pelaku operasional, namun membiarkan arsitek kebijakan dan jejaring kuasa tetap berjalan di atas undang-undang.

 

Kasus dugaan mega korupsi Pertamina periode 2018-2023 kembali menegaskan betapa keroposnya fondasi tata kelola BUMN strategis. Berdasarkan hasil audit BPK, total potensi kerugian negara mencapai Rp285,7 triliun. Angka yang mencengangkan ini bukan sekadar akibat penyimpangan administratif, melainkan cermin dari korupsi kebijakan (policy corruption) yang melibatkan pengambil keputusan di tingkat subholding hingga koordinasi dengan pejabat politik.

 

Empat subholding utama yakni PT Kilang Pertamina International, PT Pertamina Patra Niaga, PT Pertamina International Shipping, dan PT Pertamina Hulu Energi menjadi sorotan. Di antaranya, usulan High Octane Pertalite (HIP) oleh Dirut PT Patra Niaga Alfian Nasution dan Direktur Mars Ega Legowo Putra yang disetujui Dirut Pertamina Nicke Widyawati, disebut telah menimbulkan kerugian Rp11,11 triliun. Kasus lain, pembayaran kompensasi BBM Pertalite tahun 2022-2023 sebesar Rp13,118 triliun, dan penjualan solar industri di bawah harga subsidi kepada 13 perusahaan swasta, termasuk PT Adaro milik Boy Thohir, yang menggerus keuangan negara hingga Rp9,4 triliun.

 

Jika ditelusuri lebih dalam, pola korupsi semacam ini memperlihatkan penyimpangan struktural antara kebijakan energi nasional dan kepentingan politik-ekonomi kelompok tertentu. UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN menegaskan BUMN harus dikelola secara profesional, transparan, dan bertanggung jawab. Namun, praktiknya, BUMN justru kerap menjadi ladang patronase bagi elit politik untuk membiayai kekuasaan.

 

*Jejak Tekanan Politik dan Markus*

 

Fakta baru yang muncul dalam persidangan mantan Dirut Pertamina Karen Agustiawan pada 27 Oktober 2025 mengungkap sisi gelap relasi kuasa di balik korporasi negara. Karen menyebut, dirinya “mendapat tekanan dari dua tokoh nasional” agar memperhatikan perusahaan milik Moch Riza Chalid (MRC) dan anaknya, Kerry.

 

Dua tokoh nasional tersebut, menurut hasil investigasi lapangan, berinisial PY dan HR, pejabat senior era pemerintahan SBY. Karen menyebut pertemuan itu terjadi di Hotel Dharmawangsa, Jakarta, pada resepsi keluarga. Namun, yang janggal, majelis hakim tidak mendalami lebih jauh identitas kedua tokoh yang disebut dalam persidangan, seolah ada dinding tak kasatmata yang menghalangi kebenaran menembus ke atas.

 

Di sisi lain, muncul pula dugaan intervensi melalui memo tahun 2015 yang ditandatangani SN, kala itu menjabat Ketua DPR RI, kepada Direksi Pertamina agar membayar tagihan PT Orbit Terminal Merak, meski KPK telah memberi sinyal adanya kejanggalan dalam kontrak tersebut.

 

Kisah ini memperlihatkan bahwa markus (makelar kasus) dan penegak hukum yang bermain dua kaki bukan sekadar rumor. Beberapa sumber internal menyebut adanya pertemuan markus dengan MRC di Kuala Lumpur sebelum status tersangka ditetapkan oleh Kejaksaan Agung. Pola ini mengulang tragedi lama, dimana mafia minyak yang berkelindan dengan mafia hukum.

 

Filsuf politik klasik Niccolò Machiavelli menulis bahwa kekuasaan cenderung melahirkan dua negara yakni negara formal yang tampil di depan publik dan negara bayangan yang bekerja di balik kebijakan. Fenomena ini tampak nyata di Indonesia. Ketika korupsi sudah menjadi jaringan lintas sektor dengan menggabungkan elit politik, pengusaha rente, aparat penegak hukum, dan lembaga negara, maka kita tidak lagi berhadapan dengan penyimpangan moral individual, melainkan korupsi sebagai sistem politik.

 

Dalam konteks Pancasila, keadilan sosial dan kemanusiaan yang adil dan beradab seharusnya menjadi fondasi moral bagi tata kelola negara. Namun, ketika hukum tunduk pada kekuasaan, sila-sila Pancasila tak lagi hidup dalam praktik. Kita seolah kembali pada logika “siapa dekat kekuasaan, dialah hukum”.

 

Presiden Prabowo Subianto, dalam beberapa pidatonya, menegaskan komitmen untuk membongkar praktik korupsi di BUMN tanpa tebang pilih. Namun ujian terbesarnya justru di sini, apakah keberanian itu akan menyentuh nama-nama besar yang selama ini dianggap “tak tersentuh”?

 

*Reformasi BUMN dan Jalan Keadilan*

 

Reformasi tata kelola BUMN bukan hanya soal mengganti direksi atau mengaudit laporan keuangan. Ia menuntut rekonstruksi sistem pengawasan lintas lembaga, mulai dari peran Dewan Komisaris, audit BPK dan BPKP, hingga kontrol politik di DPR. Dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, setiap penyalahgunaan wewenang yang merugikan keuangan negara seharusnya langsung dapat ditindak, tanpa menunggu tekanan publik.

 

Namun dalam praktiknya, keberanian untuk menegakkan hukum sering kali terhenti di perbatasan kepentingan politik. Seolah hukum hanya bekerja untuk kasus yang aman secara politis. Padahal, sejarah membuktikan bahwa bangsa ini hanya akan maju bila berani menegakkan kebenaran meski harus melawan arus kekuasaan.

 

Korupsi di sektor energi dan BUMN adalah akar dari stagnasi ekonomi nasional. Ia menciptakan biaya tinggi, menggerus kepercayaan publik, dan membiaskan makna nasionalisme ekonomi yang menjadi cita-cita pendiri bangsa.

 

Bangsa ini tidak akan berdaulat secara energi jika tata kelolanya terus dikendalikan oleh oligarki minyak. Dan pemberantasan korupsi tidak akan pernah tuntas selama penegak hukum masih memelihara markus di balik meja penyidikan.

 

Jika benar ada nama besar yang “menitipkan” perusahaan kepada mantan Dirut Pertamina, maka publik menanti keberanian Kejaksaan Agung untuk menembus langit kuasa, bukan sekadar menangkap mereka yang mudah dijangkau. Sebab dalam negara hukum yang beradab, keadilan tidak mengenal kasta politik.

 

(Samsul Daeng Pasomba.PPWI/Tim)